CERPEN
Sebuah Pintu (Hanya Cerita Rakyat)
Ada satu kisah turun temurun di desa Pyeonghwa. Bahwa dahulu sebelum jaman semodern ini masyarakat yang tinggal disini berebut untuk memasuki pintu berwarna merah keemasan. Konon katanya pintu itulah yang bisa mengantarkan kita kekerajaan. Jika ia laki-laki ia akan menjadi penerus kerajaan. Jika ia perempuan ia akan menjadi permaisuri. Pintu itu berada di atas gunung songaksan tepatnya di lereng gunungnya, dekat jurang yang dibawahnya adalah sungai beraliran deras. Pintu itu berukirkan lambang naga merah di area tepinya dan gagang pintu berbentuk kepala naga yang berwana hitam pekat dengan kilauan emas. Jika seseorang dapat membuka dan melewati pintu itu masyarakat desa Pyeonghwa dan desa-desa lainnya terkena kutukan. Kutukan yang menyebabkan masyarakat desa tidak dapat berbicara untuk jangka waktu lima tahun bahkan bisa lebih lama lagi jika seseorang itu benar-benar menjadi raja atau permaisuri.
Seseorang turun dari bus yang datang dari arah kota. Ia membenarkan gendongan tasnya dipunggung dan mengangkat satu tas jinjing di tangan kanannya untuk segera menepi di pinggir jalan. Ia berjalan menyusuri area persawahan dan tak kunjung menemukan pemukiman. ia terus berjalan dan menemukan gubuk kecil. Ia mengetuk pintu gubuk itu untuk bertanya alamat tempat yang akan ia tuju. Tapi nihil tiada hasil. Ia mencoba memutar gagang pintu gubuk itu dan terbuka. Ketika ia mencoba mendorong pintu itu ia menemukan satu surat yang jatuh dari atap yang diselipkan di celah-celah pintu. Ia mengambil surat yang berwarna merah dan membuka segelnya.
Surat itu ku buka dan berisikan:
"Jika kau menemukkan surat ini berarti kau telah berhasil menemukan jejakku yang lainnya.
Inilah rumahku. Tempatku bersinggah. Tempatku dibesarkan oleh seorang wanita cenayang.
Tak cukup sulit bukan?
Ku harap kau menemukan rumah ini dalam keadaan mewah. Kau akan merasakan bagaimana nikmatnya bertempat tinggal disini.
Jika tidak. Keberuntungan tak berpihak kepadamu.
Pintu itu berada di atas gunung di belakang rumah ini tepatnya di lereng gunungnya, dekat jurang yang dibawahnya adalah sungai beraliran deras. Jadi kau harus berhati-hati. Pimtu itu diapit pohon gaharu di samping kanan kirinya. Jangan terlena dengan bunga-bunga mawar yang ada disana! Ingat! Banyak orang terlena dengan mawar-mawar itu. Apalagi yang berwarna merah. Sangat picik!.
Sudahlah cukup aku memberi petunjuk kepadamu. Ikuti perintahku dan jauhi laranganku. Nanti kau akan menemukanku di lembar-lembar yang lainnya."
Ia melipat lembaran surat itu dan memasukkannya ke dalam saku jaketnya. Ia menaruh tas jinjingnya di tanah dan menaruh tas punggungnya di atas meja kayu di dekat pintu itu. Ia mengamati gubuk itu. Ia merasa keberuntungan memang tidak berpihak kepadanya. Sebelumnya ia menemukan lembaran kertas usang di buku cerita rakyat yang ia baca. Si penulis buku itu bercerita bahwa rumahnya bak istana. Semua yang diinginkannya terpenuhi. Bahkan cenayang yang mengasuhnya pun tak lagi digunjing. Ia melangkahkan kakinya lagi untuk masuk lebih dalam ke gubuk itu. Hujan turun deras. hari mulai tampak gelap. Ia memutuskan untuk bermalam disini dan esok akan melanjutkan perjalanannya lagi. Ia melepas sepatunya dan merebahkan tubuhnya di kursi kayu panjang dekat meja tempat ia menaruh tas. Ia menatap langit-langit gubuk itu. Penuh sarang laba-laba itu berarti gubuk ini sudah lama tidak ditinggali. Ia.mengingat kembali keputusannya kemarin malam. Ketika ia jenuh dengan keadaannya sendiri dan mencoba mengikuti petunjuk yang ada di buku cerita rakyat peninggalan ibunya. Ada satu hal yang nampak aneh. Waktu kecil ia tak pernah melihat ada lembaran kertas itu dibukunya, tetapi ketika ia menemukan buku itu dari dalam rak buku lamanya dan membacanya. Lembaran itu terselip di dalamnya. Ia memejamkan matanya sembari memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi penyebab lembaran itu ada di dalam bukunya.
'Jangan-jangan lembaran itu ditaruh oleh ibu. Atau ada orang yang menyusup ke apartemen dan menaruh lembaran itu di dalam bukuku. Atau mungkin bukuku tertukar ketika pindahan. Atau lembaran itu berjalan sendiri dan langsung menempel di buku. Tidak tidak tidak. Itu tidak mungkin. Mana mungkin benda bisa berjalan sendiri. Aneh.'
Ia membuka matanya mengambil smartphonenya di dalam tas gendongnya. Pukul 19.00. Tidak ada jaringan dalam area. Smartphonenya menunjukkan tampilan waktu sekarang dan running teks yang menandakan bahwa ia tidak dapat menghubungi siapapun. Di desa yang tidak ia kenali. Dan tidak mengenal siapapun di sini. Bahkan menurut perkiraannya pemukiman masih jauh dari gubuk yang ia inapi malam ini. Ia mencoba memejamkan matanya kembali. Terbayang dibenaknya sosok ibu yang mendongenginya tentang cerita rakyat ketika ia hendak tidur. Serasa ibunya hadir di sini. Mengusap rambut cepaknya. Ia semakin terlena dengan bayang-bayang yang dibuat oleh otaknya.
Keesokan pagi, ia bangun dengan mimpi aneh. Ia bertemu seorang laki-laki menggunakan jubah bak raja. Pandangan matanya seakan ingin meluapkan rasa rindu yang mengebu-gebu. Laki-laki itu berhadapan sangat dekat dengannya tetapi ia tak bias mendengar suaranya ketika ia berbicara. Seakan ada tembok yang menghalangi suara laki-laki itu untuk sampi ke telinganya. Ia bangun dan mengambil posisi duduk. Ia mengambil smartphonenya dan melihat jam yang tertera di homescreen. Pukul 05.05. Ia mendengar suara orang di luar gubuk. Segera ia berlari kecil ke arah luar dan mengejar tiga orang laki-laki yang membawa cangkul dan memakai topi petani seperti topi meksiko.
"Jeogiyo, Ahjussi jamkkamannyo! (Permisi paman, tunggu sebentar!) "
Tiga petani itu menoleh ke belakang dan menunggu pemuda itu hingga sampai di tempat petani itu berdiri.
"Ye? Museum il-iya? (iya? Ada apa?)"
"Ah Gamsahamnida (Terima kasih paman sudah mau menunggu). Begini paman, saya mau tanya arah. Untuk sampai ke arah lereng gunung songaksan bagaimana ya? Atau mungkin ada cara yang lain agar lebih cepat sampai paman."
"Oh ke gunung Songaksan. Lurus saja mengikuti arah jalan ini nanti kalau bertemu jalan setapak yang mengarah ke atas gunung ikuti saja jalannya. Tapi mengapa anak muda sepertimu ingin kesana?. Dan kenapa kau bisa masuk ke gubuk cenayang itu?."
"Kau mau mencari pintu naga merah ya? Pintu itu hanya cerita bohong cenayang itu untuk mengorbankan anaknya sebagai tumbal. Buktinya anak cenayang itu tak pernah kembali. Bahkan cenayang itu tega membuat cucunya jadi anak yatim dan istri anaknya jadi janda."
"Iya. Bagaimana ya kabar istri dan anaknya. Ketika cenayang itu mati pun tak terlihat ia ikut mengkremasi."
"Ah iya paman aku mengerti. Hehehe.... Aku hanya penasaran saja paman. Hanya ingin membuktikan apakah benar ada pintu naga merah itu."
"Sudah kembali saja ke kota. Jaraknya memang tak terlalu jauh jika sudah sampai sini, tapi usahamu akan sia-sia."
Petani yang sedari tadi diam ikut mendukung pernyataan pemuda itu.
"Tapi. Kutukan itu benar adanya. Warga di sekitar sini benar-benar tak bisa bicara selama tujuh tahun. Kau masih ingat Min Soo-ya? Saat itu kita bermain ke lerang gunung untuk mencari salamander. Ingat kau?"
"Ah! Benar-benar. Aku ingat sekarang."
"Ah sudah-sudah. Ayo segera ke ladang. Jangan ganggu pemuda itu. Palli wa!! (Ayok Cepat!!)"
Pemuda itu membungkukan badannya dan mengucapkan terima kasih kepada tiga petani itu. Ia kembali ke gubuk itu. Dan memikirkan kembali perkataan petani tadi. Ia menjadi yakin bahwa pintu naga merah itu benar-benar ada. Ia segera masuk ke gubuk dan membawa kembali tasnya dan melanjutkan perjalanannya.
Sesampainnya di lereng gunung ia benar-benar melihat bahwa disini banyak sekali tanaman bunga mawar ia terus melewati tanaman itu. Tapi ada satu tanaman bunga mawar yang berbeda dari yang lain. Ia hendak menghampirinya. Tiba-tiba ingatannya tentang larangan di surat itu muncul di kepalanya. Ia terus melangkah naik kearah puncak gunung Songaksan. Ada satu daun jati yang jatuh tepat di kepalanya. Ada sketetarikan yang membuat ia mengambil daun itu. Benar saja, di daun itu tertulis 'Kau akan sampai nak. Teruslah berjalan lurus ke arah puncak gunung. Kau akan menemui pintu itu.'
Ia kembali menyimpan pesan itu di saku jaketnya, bersamaan surat-surat yang lainnya. Ia melanjutkan lagi perjalanannya. Matanya menangkap asap yang membumbung tinggi dari arah kanan jalan yang menuju arah hutan yang jarak antar pohonnya lebih rapat dari pohon-pohon sebelumnya. Ia mengikuti arah asap itu. Ia melihat ada satu gubuk yang lumayan besar dengan pohon gaharu di sisi kanan kirinya. Ia mulai ragu untuk melangkahkan kakinya ke arah gubuk itu. Ia melihat ada siluet laki-laki yang sama persis dengan laki-laki yang ada dimimpinya berjalan keluar dari arah pintu gubuk itu. Semakin lama semakin jelas bentuk tubuh dan wajah laki-laki itu. Dan benar saja laki-laki itu memang sama persis dengan laki-laki yang ada dimimpinya. Laki-laki itu mulai mendekat dan mengajaknya
"Anakku. Akhirnya kau menemukkanku. Terima kasih banyak nak."
"Tunggu dulu paman. Kenapa anda memanggilku anakmu? Siapa anda sebenarnya? Kau tak mungkin Ayahku. Ayahku sudah mati sedari aku masih berumur enam tahun."
"Maaf nak. Akulah anak cenayang itu dan ibumu adalah istriku. Selama ini aku menjelma menjadi raja di kerajaan. Itu semua karena pintu ini. Ini lah pintu naga merah itu, yang harus dijaga turun temurun."
"Aku tak mau. Aku tak mau menjadi seperti anda yang rela meninggalkan keluarga hanya demi kekuasaan. Aku tak mau!"
Pemuda itu berjalan meninggalkan gubuk itu. Tanpa melihat ke belakang kearah laki-laki itu. Ia terus berjalan dengan pikiran yang sangat kacau. Ia benar-benar tak paham apa yang terjadi saat ini. Apa benar ini nyata? Atau hanya mimpi belaka. Ia terus berjalan menuruni gunung dan mengarah ke jalan raya. Ia melewati gubuk kecil yang ia inapi kemarin malam. Ia masih berjalan sesampainya di jalan raya bus datag menghampirinya dan menaikki bus itu. Pikirannya masih kacau. Ia masih bingung dengan apa yang terjadi, bahkan sesampainya ia di apartemennya.
***
"Soo Hyun-a! Yak! Soo Hyun-a! bangun! bukakan pintunya cepat, aku sudah lelah berdiri di depan pintu. Soo Hyun-a!"
Pemuda itu bangun karena teriakan dan bel apartemennya terus berbunyi. Ia menaruh buku cerita peninggalan ibunya yang sedari tadi ia genggam saat tidur ke meja. Ia berjalan menuju pintu apartemennya dan menemukan perempuan muda yang membawa sayur-mayur dan peralatan dapur lainnya.
"Kau gila! Satu jam lebih aku menunggumu di depan pintu. Aku coba hubungi nomormu tapi tidak ada yang menjawab!".
"Maaf aku ketiduran. Dan. Aku berimpi aneh tadi. Maaf".
Pemuda itu mundur satu langkah agar perempuan itu bisa masuk rumahnya.
"Itu karena kau tidur di pagi hari! Ingat kata ibumu dulu, jangan tidur saat matahari sedang berjalan di atas kepala kita! Minggir! Kau sudah makan? Aku bawa tteobokki dan sundae".
"Belum. Kajja meogja (Ayok kita segera makan)".