Kisah
Cinta Dan Lain – Lain (Kajian Sosiologi Sastra) : Representasi Nasib Kaum
Proletar yang Termaginalisasi Oleh Kaum Borjuis di Indonesia.
Oleh:
Retno Cahyaningsih
Departemen Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya
Universitas
Airlangga
Abstrak
Masyarakat marginal di Indonesia saat ini
maupun dahulu saat masih dijajah oleh bangsa lain, sangatlah melimpah ruah.
Namun sedikit sekali orang – orang yang perduli pada masyarakat marjinal. Hal
itu juga menyebabkan terbentuknya strata dalam masyarakat yaitu kaum borjuis
untuk kalangan elit atau kaya dan kaum proletar untuk kalangan marjinal.
Sangatlah berketimpangan, apalagi Negara Indonesia dianggap banyak Negara lain
sebagai Negara yang kaya, mulai dari sumber daya alam maupun manusianya. Hal
inilah yang mungkin membuat Arifin C Noor membuat naskah drama “Kisah Cinta dan
Lain – Lain” sebagai kritik kepada kalangan borjuis untuk lebih peduli pada
masyarakat kalangan bawah atau masyarakat marginal. Dalam lakon ini pada watak
dan perilaku Nyonya dan Tuan yang lebih mentingkan hewan peliharaannya dari
pada Otong dan Wilem yang menjadi pembantu rumah tangga mereka. Maka dari itu
artikel ini akan membahas watak dari dialog para lakon dan kaitannya dengan marginalisasi
kaum proletar oleh kaum borjuis melalui teori atau pendekatan sosiologi sastra
dan struktur.
Kata
Kunci: Masyarakat, Borjuis, Proletar, Marginal.
Latar
Belakang
Pablo Gonzales
mengatakan dalam bukunya fenomena pedesaan yaitu Marginalisasi adalah fenomena pedesaan yang menimbulkan kemelaratan dan ciri kebudayaan pribumi tertentu yang
biasanya tertahan yang menunjukan fenomena integral dalam masyarakat artinya
peminggiran oleh sekelompok orang. Oleh karena itu Masyarakat
marjinal ialah masyarakat yang dipinggirkan oleh sekelompok tertentu. Dalam proses
marginalisasi inilah membuat terbentuknya kaum
proletar dan kaum borjuis yang diungkapkan oleh Karl Marx dalam bukunya
Manifesto Partai Komunis (1848). Kaum Proletar sendiri mempunyai arti lapisan
sosial yang paling rendah, sedangkan Kaum Borjuis ialah kelas masyarakat dari
golongan menengah ke atas (KBBI).
Moulton mengatakan drama
adalah kisah hidup digambarkan dalam bentuk gerak (disajikan langsung dalam
tindakan). Istilah drama datang dari khazanah kebudayaan Barat. Istilah drama
berasal dari kebudayaan atau tradisi bersastra di Yunani. Hal ini sesuai dengan
yang dinyatakan Krauss (1999: 249) dalam bukunya Verstehen und Gestalten,
“Gesang und Tanz des altgriechischen Kultus stammende künstlerische
Darstellungsform, in der auf der Bühne im Klar gegliederten dramatischen Dialog
ein Konflikt und seine Lӧsung dargestellt wird. (drama adalah suatu bentuk
gambaran seni yang datang dari nyanyian dan tarian ibadat Yunani kuno, yang di
dalamnya dengan jelas terorganisasi dialog dramatis, sebuah konflik dan penyelesaiannya
digambarkan di atas panggung). Drama dikelompokkan sebagai karya sastra karena
media yang dipergunakan untuk menyampaikan gagasan atau pikiran pengarangnya
adalah bahasa (Budianta, dkk, 2002: 112). Pendapat lain yang memperkuat
kedudukan drama sebagai karya sastra adalah bahwa drama termasuk ke dalam ragam
sastra karena ceritanya bersifat imajinatif dalam bentuk naskah drama
(Zulfahnur. dkk, 1996: 23). Marquaβ (1998: 6) pun menyatakan, “Das Lesedrama
ist ein spezielle Form des Dramas, die nicht in erster Linie aufgeführt,
sondern wie ein Roman gelesen werden soll“ (naskah drama adalah sebuah bentuk
khusus dari drama yang tidak untuk dipentaskan, melainkan untuk dibaca
selayaknya roman).
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, drama adalah 1. komposisi syair atau prosa
yg diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku
(akting) atau dialog yg dipentaskan; 2. cerita atau kisah, terutama
yg melibatkan konflik atau emosi, yg khusus disusun untuk pertunjukan teater. Terlepas
dari apakah sebuah karya drama itu nantinya dipentaskan atau hanya sekedar
dibaca saja, pada intinya apa yang disebut dengan drama adalah sebuah karya
sastra yang menggambarkan kehidupan dan watak melalui akting dan adanya dialog
atau percakapan diantara tokoh-tokoh yang ada.
Unsur-unsur pembentuk drama
ada dua, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Seperti yang sudah sama-sama
kita ketahui, unsur drama meliputi lakon atau cerita, pemain, tempat, dan
penonton atau publik. Di dalam sebuah drama, terutama dalam naskah drama
terdapat nilai-nilai kehidupan seperti nilai pendidikan, sosial, moral, budaya
dan lain-lain. Nilai tersebut merupakan sebuah amanat dari seorang penulis
naskah drama yang disampaikan kepada pembaca atau penikmat drama agar dapat
mengilhaminya. Tulisan ini mengkaji naskah drama “Kisah Cinta dan Lain-Lain”
karya Arifin C Noor dengan menggunakan analisis struktur, dan sosiologi sastra..
Struktur
di sini dalam arti bahwa karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang
bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang saling menentukan.
Jadi, kesatuan unsur-unsur dalam sastra bukan hanya berupa kumpulan atau
tumpukan hal-hal atau benda-benda yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan
hal-hal itu saling terikat, saling berkaitan, dan saling bergantung.
Sosiologi
sastra disini seperti halnya kritik sosiologik yang berarti penilaian yang
mementingkan latar belakang sosial. Karena pada drama ini yang paling menonjol
menurut saya ialah keadaan sosial antar lakon satu dengan yang lainnya.
Dalam
lakon naskah drama “Kisah Cinta dan Lain
– Lain” terdapat beberapa lakon yang menunjukan sifat – sifat dari kalangan
borjuis dan proletar serta marginalisasi terhadap kaum proletar. Maka dari itu
naskah drama karya Arifin C Noor sarat akan proses marginalisasi serta
terbentuknya strata kaum yaitu kaum borjuis dan proletar.
Contohnya
dalam karakter sifat Nyonya yang angkuh serta mementingkan diri sendiri yang
terbukti pada dialog kutipan berikut:
‘Otong: begini tuan, saya
lebih dulu minta ma’af, karena saya harus minta izin pulang berhubung anak saya
yang masih bayi sakit keras. …
Tuan: tapi betul?... Otong: buat
apa saya bohong tuan?. Saya kira selama tiga tahun saya bekerja disini saya
tidak pernah rewel. Setiap waktu tuan dan Nyonya bisa mempergunakan tenaga
saya…. Wilem: bayinya
kejang-kejang tuan….Tuan: sekarang
jam berapa? (melihat arloji) baiklah. Tapi kalau ternyata anakmu sudah sembuh
sebaiknya kau kembali lagi kesini. Sewaktu-waktu mobil dibutuhkan….
Nyonya (nongol): kau jangan sembarangan, pap. Sewaktu-waktu
mobil diperlukan setiap saat mobil harus siaga. Kau sudah tua tidak mungkin kau
sempurna mengemudikan mobil itu….’.
Hal ini
mengisyaratkan sifat – sifat dari kalangan borjuis. Sedangkan sifat dari
kalangan proletar dilakonkan atau ada pada karakter dari Wilem dan Otong
sebagai pembantu rumah tangga, berikut dialog kutipan Otong dan Wilem:
‘Otong: saya baru ingat sekarang. Astaga… Wilem: apa?.... Otong: anak saya… Wilem: kenapa?... Otong: astaga, saya baru ingat lagi
sekarang… Wilem: yang mana? Eh
kenapa?... Otong: Sakit… Wilem: yang mana?... Otong: yang terkecil. Yang bayi… Wilem: apa sakitnya?... Otong: mulai tadi pagi kejang… Wilem: kenapa kamu tidak minta izin
pulang siang tadi?... Otong: tidak
diizinkan… Wilem: kenapa tidak
memaksa saja?... Otong: akibatnya?...
Wilem: iya, ya… Otong: saya bisa saja memaksa atau
minggat sebentar tapi kalau Nyonya cari bisa berabe. Kalau saya sampai
dikeluarkan dan rumah ini apa yang akan terjadi saya tidak bisa
bayangkan. Anak saya bukan dia seorang empat…’
Dalam dialog kutipan berikut juga dibuktikan
adanya proses marginalisasi.
‘Perempuan: saya mencari otong,
Nyonya(yang lainya tak peduli) Dia janji mau mengawini saya. (tetap yang lainya
tak peduli) kalau bayi ini lahir, saya taruh dimana?.... (NYONYA YANG LAIN
TERUS BERTANGISAN DAN MENGOBROL)… (SEMUANYA MENANGIS)… NYONYA:
anjing itu memang….(menangis)…. (OTONG DAN WARTAWAN MUNCUL)… Otong:
cuma tuan alex, tuan. Wartawan-wartawan yang lain sedang mengunjungi
upacara kematian anjing yang lain…. Wartawan:
ikut berduka cita tuan… Nyonya: tuan
alex, jangan lupa menyebutkan dalam Koran bahwa tony pernah kencing di sepatu
saya. Dan tuan tau apa yang terjadi pada diri saya waktu itu. Saya bahagia
sekali bahwa ada juga yang mengencingi sepatu
saya…. Perempuan: Kang
otong……….!... Otong: kenapa kau
kemari?....’
Maka dalam artikel ini, saya akan
membahas kaitan antara dialog para lakon dengan proses marginalisasi serta
nasib masyarakat marginal dengan adanya kaum proletar dan borjuis di Indonesia.
1. Realitas dialog para lakon
pada naskah drama.
Dialog adalah sebuah percakapan yang dilakukan oleh 2
tokoh atau lebih dengan maksud tertentu untuk tujuan jalannya cerita. Dalam karya sastra tulisan atau menulis fiksi, dialog
memiliki banyak fungsi. Selain untuk menggambarkan percakapan tokoh-tokohnya,
dialog juga bisa memunculkan karakter dari masing-masing tokoh. Dialog juga
bisa memunculkan perbedaan budaya dari masing-masing tokoh. Misalnya dengan
dialek atau bahasa percakapan yang berbeda logat. Juga berfungsi sebagai
penggambaran seting/latar pada sebuah cerita. Dialog juga dapat menggambarkan
keadaan atau suasana pada drama tersebut
Pada drama ini juga
ditemukan dialog antar lakon yang merepresentasikan watak atau karakter lakon
drama. Dalam bab ini saya akan membahas lakon – lakon utama serta lakon
pembantu yang turut serta membuat drama ini menjadi lebih baik dan dapat
diterima manfaatnya oleh orang lain.
Pertama, dalam drama ini
terdapat lakon Nyonya. Nyonya disini sebagai tokoh yang mementingkan diri
sendiri, tidak peduli dengan orang lain, dan berkelakuan semaunya. Kedua, lakon
Tuan yang menurut apa kata Nyonya dan bersifat keras dan gegabah. Seakan
menggambarkan latar belakang sosial yang tinggi dan berada. Berikut kutipan
dialog Nyonya dan Tuan yang merepresentasikan watak atau sifatnya:
‘(PINTU
TERBUKA NYONYA MUNCUL DALAM TANGIS, TUAN MUNCUL LALU MENGHAMPIRI) Tuan: Sudahlah… Nyonya: Kau harus dapat menyembuhkan.
Kau tau saya sangat sayang kepadanya… Tuan:
Apalagi yang harus saya perbuat?... Nyonya: Saya tidak peduli… Tuan:
Sudah dua orang dokter…. Nyonya:
Bila perlu seluruh dokter hewan yang ada. Saya tidak perduli dengan apa
yang akan kau perbuat ( diam ). Kau jangan diam saja…. Tuan(meledek): Apa saya banting saja dia?... Nyonya: Kasarnya (menjerit, menangis)
(lalu exit)… Tuan: Maa saya
bingung (menghampiri exit)… (WEKER MENUNJUKKAN JAM OTONG MEMUTAR JAM ITU LALU
EXIT)(PINTU TERBUKA, DOKTER Y. MUNCUL LALU EXIT, LALU TUAN DAN NYONYA MUNCUL)… Nyonya: dia memang dokter paling bodoh
yang ada di Jakarta ini. Kenapa kau panggil dokter pandir itu?... Tuan: Siapa lagi kenalan kita?
Professor Marjo?... Nyonya: Ya,
orang tua itu pasti bisa menolong nyawanya, apa Nyonya Dia memang dokter paling bodoh yang ada di
Jakarta ini. Kenapa kau panggil kau percaya pada mulut dokter swasta tadi?
Bahwa umurnya tinggal satu jam… Tuan: Tak
tau lah ( exit )… (TERDENGAR SUARA TUAN MANTO MENGHUBUNGI PROFESSOR MARJO LEWAT
TELEPHON)… Nyonya: Willem !.... Willem(muncul): ya, Nyonya… Nyonya: Buatkan bubur, sop sudah
masak?.... Willem: Sudah NYONYA….
Nyonya: Dagingnya sudah hancur?...
Willem: Dagingnya juga sudah,
Nyonya…. Nyonya: Bawa saja sup
itu kekamar dulu. Juga susunya…. Willem:
Saya Nyonya (exit)… (TUAN MUNCUL)… Nyonya: Bagaimana?... Tuan:
Sebentar lagi dia datang…. Nyonya:
Dia pasti datang… Tuan(memotong
dengan keras): OTONG!... Otong(muncul):
ya, Tuan…. Tuan: Siapa yang
mematikan AC itu?.... Otong: Saya
tuan… Tuan: Bangsat!!... Nyonya: Saya yang nyuruh…. Tuan: Udara begini panas… Nyonya: Saya tau…. Tuan: Lalu kenapa harus dimatikan AC
itu?... Nyonya: Saya tidak tau.
Tadi saya ingin AC itu mati. Sekarang tidak lagi… Tuan: Hidupkan otong!.... Otong:
Saya tuan (exit)… Nyonya: Profesor
itu pasti bisa menyembuhkanya…. Tuan: Jangan
berharap berlebihan nanti kau terlalu kecewa… (WILLEM MUNCUL MEMBAWA SUP DAN
SUSU MASUK KEDALAM KAMAR)… Nyonya: Saya
yakin sekali. Sangat yakin entah apa. Tapi sekarang tidak juga professor itu
tidak sanggup menyembuhkanya lebih. Ia berhanti saja memberikan
kuliah-kuliah(tiba-tiba). Tuhan apa dosa saya maka kau sakiti hati saya ?...’
Ketiga terdapat lakon Otong serta
Willem yang mempunyai watak atau sifat pasrah, kalem, dan bekerja keras. Yang
juga menjelaskan latar sosial tidak mampu dan adanya ketimpangan sosial. Berikut
kutipan dialog sebagai bukti dari watak atau sifat dari Willem dan Otong.
‘OTONG: kasihan dia, tapi
memang sudah tua… (WILEM MUNCUL)… OTONG:
bagaimana menurut kau ?... WILEM:
ndak tahu…. OTONG: makin
parah ?.... WILEM: ndak tahu.
Tapi tetap saja saya kira, seperti kemarin, ya gusti orang macam apa dia ?... OTONG: kenapa kau… WILEM: saya takut Nyonya jadi gila… OTONG: mana mungkin Nyonya jadi gila
hanya karena binatang… WILEM: kenapa
tidak mungkin ?... OTONG: lumrah
orang mencintai anjing kesayangannya… WILEM:
memang tapi saya belum pernah melihat laku yang berbeda seperti itu,
saya belum pernah melihat Nyonya bertindak mirip seperti orang gila dan
sedemikian rupa menjadikan kota Jakarta ini repot karena mencintai anjng
kecuali Nyonya saya yang sekarang. Lalu saya menyangka Nyonya pantao adalah
majikansaya yang paling kranjingan oleh anjingnya tapi rupanya tidak.ada Nyonya
laen yang melebihi. Kau lihat sendiri sejak kemarin rumah ini begitu sibuk
hanya disebabkan anjing … OTONG: sementara
tak sepicing pun mata memperhatikan ketika kau kena malaria begitu ?... WILEM: bukan. Saya hanya kuatir Nyonya
jadi tidak beres. Saya yakin sebentar lagi seluruh Jakarta akan sibuk hanya
karena anjing itu. Memang Nyonya kita ini Nyonya seorang pemuka yang amat
terkenal. Yang amat berpengaruh, seorang pengarang besar, seorang wartawan
besar, seorang pemimpin partai, pendeknya seorang sangat berwibawa. Bahkan ia
adalah seorang jutawan dengan perusahaan- perusahaan dagangnya yang
besar- besar. Tapi saya sampai tak habis piker, bahkan ketika saya belajar
dibangku SKKA dulu di solo, saya belum pernah membaca cerita seperti ini,
sungguh ajaib bahwa kesibukan ini hanya disebabkan yang sudah sangat tua dengan
moncongnya yang sang minjijikan…. OTONG:
Nyonya saya yang dulu Nyonya frita selalu tidur dengan anjingnya
setip malam…. WILEM: Gila ,
suaminya ??... OTONG: seperti
biasa selalu tidur dikamar kerjanya…’
dan kutipan dialog berikut:
‘OTONG
(setelah agak lama): kau nampaknya tidak sungguh-sungguh berdo’a…. WILEM: ngapain?... OTONG: kelihatan pada matamu. Seperti
kucing… WILEM: memangnya saya
mesti berdo’a untuk binatang itu? Kamu bagaimana?... OTONG: saya berdo’a . sungguh-sungguh berdo’a…. WILEM: ngapain?... OTONG: nggak tau. Tapi saya
sungguh-sungguh. Barangkali saja terkabul/nggak taulah. Tapi saya kita belum
pernah saya begitu khusyuk berdo’a selama ini kecuali tadi nggak taulah… WILEM: ya, semula saya juga ingin
berdo’a sungguh-sungguh tapi aku selalu terganggu setiap kali… OTONG: Kenapa?... WILEM: moncongnya yang ngece itu
selalu membayang… OTONG: ngomong-ngomong
bagaimana dengan pacarmu?... WILEM
(genit): ah, Tanya itu lagi… (PINTU TERBUKA DAN MUKA NYONYA NONGOL)… NYONYA: ngapain kalian? Berdo’a,
anjing?.... WILEM(Setelah agak
lama):kamu sungguh-sungguh?... OTONG: Sssst….
WILEM(setelah agak lama): matamu
sekarang seperti kucing… OTONG: diam
tidak, ntar saya cium lagi seperti tempo hari…’
2. Realitas para lakon pada
kehidupan sekarang, di Indonesia.
Seperti yang telah saya
jelaskan pada bab pendahuluan, bahwa dialog para lakon terdapat nilai – nilai
yang terkandung sebagai pesan dari pengarangnya. Disini Arifin membuat para
dialog para lakon sesuai karakter dan latar sosial masyarakat di Indonesia.
Pertama Nyonya yang bersifat angkuh dan berbuat semaunya tanpa memikirkan orang
lain, menunjukan sifat dan karakter orang – orang Indonesia dari kalangan
borjuis. Sedangkan Otong dan Willem sebagai orang – orang dari kalangan
proletar, karena dalam drama ini digambarkan mereka berdua sebagai pembantu
rumah tangga yang sama sekali tidak dianggap sebagai manusia juga.
Dalam
drama ini juga digambarkan proses marginalisasi melalui dialog para lakon.
Dibuktikan pada dialog lakon berikut:
(SEORANG
PEMUDA MUNCUL)
Pemuda: saya mencari otong.
Dimana otong. Anaknya meninggal…. Nyonya
A : anjing itu lucu sekali…. Nyonya B: tidak Cuma lucu……….
(SEMUANYA
MENGOMENTARI. KEMUDIAN MUNCUL PROFESOR MARJO)
Profesor : nah, Nyonya
sekarang Nyonya harus merelakan semuanya. Tapi jangan khawatir, besok pagi
herder saya akan segera bertamu kamari… Pemuda :
saya mencari otong. Anaknya meninggal…. Profesor : tuan saya ikut bela sungkawa…. Nyonya: sekarang kau harus pidato,
pap, pidato…. Tuan: tuan-tuan
dan Nyonya-Nyonya yang kami muliakan betapa terimakasih kami atas hadiran
tuan-tuan dan Nyonya-Nyonya untuk memberikan penghormatan
kepada…….., kepada………… yang tercinta………. Tony anjing
kami, yang telah………(menangis) semua ini bagai…….. Nyonya: petir di siang
hari, pap…. Tuan: ya, petir
disiang hari…….(menangis)… Nyonya :
dia betul-betul terharu…..singkat saja, pap. Lanjutkan sebelum kau
pingsan… Tuan: singkatnya dengan
ini kami mengharapkan kehadiran tuan-tuan dan Nyonya-Nyonya besok pada upacara
penguburan tony sayang di kebun……
(SEMUA
ORANG MENYAMPAIKAN RASA DAN CITANYA SAMBIL BERJABAT TANGAN DAN MENINGGALKAN
RUMAH ITU, SEMENTARA ITU)
Pemuda: saya
mencari kang otong. Anaknya meninggal sore tadi… Nyonya A: tabahkan hati Nyonya… Nyonya: terimakasih tetapi siapa yang akan saya jumpai kalau besok
saya bangun pagi?... Nyonya: NYONYA…..(mereka
berpelukan)…. Pemuda : saya
mencari otong……. Di mana otong………OTONG. Anakmu meninggal…………(lempu
perlahan-lahan meredup)…
Dalam
dialog di atas terlihat Pemuda yang mencari Otong untuk menyampaikan pesan
kepadanya bahwa anaknya telah meninggal dan tidak dihiraukan sama sekali oleh
Nyonya – Nyonya tamu dari Nyonya-nya Otong.
3. Kaitan antara drama dengan
keadaan Indonesia.
Dalam drama “Kisah Cinta
dan Lain – Lain” terdapat kesamaan keadaan atau suasana di Indonesia setelah
penafsiran dialog pada naskah drama. Drama ini menceritakan ketimpangan sosial,
bagaimana nasib masyarakat proletar yang mengalami proses marginalisasi oleh
kaum borjuis. Hal ini terdapat pada tafsiran saya pada dialog yang sudah saya
kutip pada bab sebelumnya.
Di Indonesia sendiri banyak sekali kaum
proletar yang terpinggirkan oleh kaum borjuis. Kaum borjuis menganggap adanya
perbedaan kelas dan tak sebandingnya dari segi fisik menjadikan kaum proletar
terpinggirkan. Rata – rata di Indonesia kaum proletar didominasi masyarakat
miskin. Seperti yang dilansir oleh website berita di Indonesia mengatakan ‘"Di negeri ini, angka
kemiskinan, saudara-saudara yang tidak mampu dan miskin masih relatif
tinggi," katanya saat Safari Ramadhan Partai Demokrat Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Yogyakarta di Semarang, Selasa (13/6)’[1]. Seperti diberitakan
Antara.’ Hal ini seperti nasib Otong yang tak mampu membantah apa kata
majikannya ketika Ia ingin pulang untuk anaknya yang sakit, karena tidak ada
lagi pekerjaan jika Ia tetap memaksa untuk pulang, dan akibatnya Otong harus
merelakan anaknya pergi untuk selamanya.
4. Refeleksi pemerintah atas keadaan di
Indonesia.
Puji Karyanto[2]
pada jam kuliahnya menjelaskan bahwa tujuan dibuatnya karya sastra khususnya
drama ialah adannya nilai
intelektualitas dan membuat seseorang menjadi lebih baik setelah membacanya. Maka
dalam drama ini Arifin C Noor ingin pemerintah lebih memperhatikan masalah
ketimpangan sosial pada masyarakat proletar yang menjadi kaum marginal oleh
beberapa orang yang secara sengaja maupun tidak. Kemiskinan menjadi faktor
utama terjadinya proses marginalisasi dan terbentuknya strata kaum borjuis dan
proletar.
Dalam hal ini pemerintah Indonesia sudah
mengupayakan dengan baik untuk menyelesaikan masalah ketimpangan sosial. Salah
satunya ialah mengentas kemiskinan agar tidak terjadi marginalisasi pada kaum
tertentu, contohnya ialah pada masa pemerintahan Jokowi[3] adanya
Beasiswa Bidikmisi, Kartu Perlindungan Sosial, Kartu Indonesia Pintar, dan
beberapa kartu lainnya.
Namun pada kenyataannya pembagian bantuan
dalam bentuk kartu ini masih dirasa belum cukup untuk mengentas kemiskinan di
Indonesia, karena bantuan yang diberikan dalam bentuk kartu yang berbasis
teknologi modern sedangkan beberapa daerah di Indonesia masih ada daerah yang
belum terjamah teknologi modern tersebut. Hal itu juga menjadi pekerjaan
lanjutan bagi pemerintahan. Dan dalam proses pembagian bantuan tersebut masih
banyak masyarakat yang dianggap mampu atau lebih dari kata berkecukupan
mendapat bantuan tersebut. Salah satu contohnya ialah saat saya mendengar
cerita adanya penerima bantuan beasiswa bidikmisi bagi kalangan mampu khususnya
keluarga perangkat desa dan bukan dihimbaukan ke warganya.
Maka dari itu seharusnya pemerintah dapat
meneliti lagi masyarakat yang akan atau sudah dapat bantuan tersebut. Agar
tidak terjadi salah sasaran dalam menjalankan program kerja yang bertujuan
mengentas kemiskinan tersebut.
KESIMPULAN
Dalam lakon naskah drama “Kisah Cinta dan Lain – Lain” terdapat
beberapa lakon yang menunjukan sifat – sifat dari kalangan borjuis dan proletar
serta marginalisasi terhadap kaum proletar. Maka dari itu naskah drama karya
Arifin C Noor sarat akan proses marginalisasi serta terbentuknya strata kaum
yaitu kaum borjuis dan proletar.
Pada drama ini juga ditemukan dialog antar
lakon yang merepresentasikan watak atau karakter lakon drama. Dalam bab ini
saya akan membahas lakon – lakon utama serta lakon pembantu yang turut serta
membuat drama ini menjadi lebih baik dan dapat diterima manfaatnya oleh orang
lain.
Terdapat penggambaran lakon dari kaum
borjuis. Pertama, dalam drama ini terdapat lakon Nyonya. Nyonya disini sebagai
tokoh yang mementingkan diri sendiri, tidak peduli dengan orang lain, dan
berkelakuan semaunya. Kedua, lakon Tuan yang menurut apa kata Nyonya dan
bersifat keras dan gegabah.
Sedangkan sifat dari kalangan proletar dilakonkan atau ada pada karakter dari
Wilem dan Otong sebagai pembantu rumah tangga. Serta lakon pemuda dan perempuan
yang tidak dihiraukan oleh Nyonya A dan Nyonya B yang menjadi tamu Nyonya
majikan Otong adalah bukti marginalisasi oleh kaum tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Pablo Gonzales Casanova, 2001. Fenomena
Pedesaan. INTAN
PARIWARA
Yudiono, K.S, 2009. Pengkajian Kritik Sastra Indonesia. Jakarta: GRASINDO
http://eprints.uny.ac.id/9929/3/BAB%202%20-%2007203241040.pdf
Nurul Mienyu. (2014). Sejarah dan
Perkembangan Drama di Indonesia. Tersedia:
http://nurulmienyu.blogspot.co.id/2014/04/sejarah-dan-perkembangan-drama-di.html (23 Juni 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar